Di tengah riuhnya perdebatan tentang kesetaraan gender, sebuah pertanyaan sederhana namun menggelitik sering kali muncul: “Perempuan juga harus bisa angkat galon dong, katanya setara?” Pertanyaan ini, meski terkesan sepele, mencerminkan miskonsepsi mendalam yang masih berakar dalam pemahaman kita tentang kesetaraan.

Kita seringkali terperangkap dalam logika biner, menyamakan kesetaraan dengan keseragaman, seolah-olah kesetaraan gender berarti perempuan harus menjadi replika laki-laki dalam segala aspek kehidupan.

Padahal, esensi kesetaraan gender jauh melampaui kemampuan fisik semata. Ia adalah tentang menciptakan dunia di mana setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi penuh mereka.

Ia adalah tentang meruntuhkan tembok-tembok struktural dan budaya yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan, bukan tentang memaksakan mereka untuk melakukan pekerjaan yang secara fisik lebih berat.

Secara biologis, perbedaan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan adalah fakta yang tak terbantahkan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor hormonal dan struktur otot.

Namun, fakta ini tidak boleh menjadi dasar untuk membatasi peran dan kesempatan perempuan dalam masyarakat. Kesetaraan gender yang dimaksud bukanlah kesamaan hasil (equality of outcome), melainkan kesamaan kesempatan (equality of opportunity).

Teori equity feminism mengajarkan bahwa kesetaraan sejati terletak pada kesetaraan kesempatan, bukan kesamaan hasil. Setiap perempuan dan laki-laki berhak atas akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, dan sumber daya lainnya.

Namun, kesetaraan kesempatan saja tidak cukup. Kita juga perlu mengatasi hambatan-hambatan struktural dan budaya yang menghalangi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka.

Hambatan-hambatan itu adalah stereotip gender yang merendahkan perempuan, diskriminasi yang membatasi pilihan mereka, kekerasan berbasis gender yang mengancam keselamatan mereka, dan beban ganda yang membebani mereka dengan tanggung jawab domestik dan publik.

Untuk membangun masyarakat yang adil dan setara, kita perlu melakukan revolusi di berbagai tingkatan:

  • Revolusi Pemikiran: Mengubah narasi dominan yang merendahkan perempuan, menggantinya dengan narasi yang memberdayakan dan menginspirasi.
  • Revolusi Keluarga: Membagi peran dan tanggung jawab secara adil antara anggota keluarga, menghapus beban ganda yang selama ini dipikul perempuan.
  • Revolusi Masyarakat: Menciptakan ruang publik yang aman dan inklusif bagi perempuan, menghapus diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
  • Revolusi Negara: Menerapkan kebijakan dan undang-undang yang mendukung kesetaraan gender, memastikan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Kesetaraan gender bukan sekadar slogan, melainkan investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa.

Studi menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, tingkat korupsi yang lebih rendah, dan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, mari kita tinggalkan logika sempit yang menyamakan kesetaraan dengan kemampuan fisik. Mari kita bangun kesadaran kolektif bahwa kesetaraan gender adalah tentang menciptakan dunia di mana setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Saatnya kita merevolusi paradigma, mengubah narasi, dan membangun masyarakat yang adil dan setara. Revolusi ini bukan hanya untuk perempuan, tetapi untuk kemanusiaan yang lebih baik.