Ki Hajar Dewantara, yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, punya visi yang begitu tajam dalam melihat pendidikan. Konsep dasarnya bisa dibilang sederhana, tapi kedalaman maknanya benar-benar mendalam. Ki Hajar menggagas pendidikan dengan prinsip yang dikenal luas: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Secara kasarnya, artinya adalah “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mendukung.” Nah, konsep ini tuh bukan sekadar slogan; ini benar-benar akar dari bagaimana seharusnya seorang pendidik, bahkan masyarakat, memandang pendidikan.

Yang menarik, dalam konsep ini Ki Hajar nggak cuma fokus sama sekadar “mengajar”. Beliau melihat pendidikan sebagai pembentukan karakter, bukan cuma soal nilai akademis atau sekadar hafalan. Ki Hajar menganggap pendidikan itu harus membebaskan manusia, bukan justru mengekang atau mengontrol. Kalau kita lihat lagi, di zaman beliau sudah bicara soal “menjadikan manusia merdeka” bebas berpikir, bebas berpendapat, dan yang paling penting, bebas bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Cara pandang beliau ini juga nggak melulu soal anak-anak yang di sekolah. Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa pendidikan itu harus “sepanjang hayat”. Jadi, pendidikan harus ada di semua level masyarakat, dari anak-anak sampai orang tua, di kelas atau di rumah, di sawah atau di pasar. Bukan berarti pendidikan cuma milik sekolah. Seluruh masyarakat, katanya, harus ikut “mendidik,” termasuk orang tua, lingkungan, bahkan negara.

Mungkin kalau kita coba refleksikan dengan kondisi saat ini, konsep “tut wuri handayani” adalah ajakan bagi kita semua untuk tetap menghargai kemandirian individu sambil tetap mendampingi mereka. Orang tua, guru, bahkan pemerintah nggak harus “memaksa” atau mendikte, tapi memberikan ruang yang cukup luas untuk setiap individu berkembang sesuai potensi dan minat mereka.

Ki Hajar Dewantara memang menyebutkan bahwa pendidikan itu seharusnya memberi ruang bagi anak untuk bebas memilih jalannya, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan memahami nilai-nilai kemanusiaan. Di sini yang bikin menarik — karena di tengah dunia modern yang makin kompetitif, konsep Ki Hajar justru mengingatkan kita untuk nggak terlalu fokus pada hasil, tetapi lebih kepada proses pembelajaran dan kebebasan berekspresi. Jadi, nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi dasar yang kuat, bukan cuma sekadar nilai di rapor atau titel di depan nama.

Secara keseluruhan, konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara itu memang idealis, tapi tetap relevan. Pendidikan harus jadi “rumah” yang nyaman untuk semua individu berkembang dan berinovasi. Di tengah kesibukan kita mengejar teknologi dan kemajuan zaman, pesan dari Ki Hajar ini seakan mengingatkan kita untuk tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Buat beliau, pendidikan adalah soal “menuntun” manusia agar menemukan hakikat dirinya sendiri, agar mereka bisa menjadi individu yang bermanfaat untuk sesama.