Seorang anak kecil duduk di halaman, tangannya sibuk mencabik-cabik tanah, menemukan kerikil, cacing, daun kering, semua ditelitinya dengan penuh rasa ingin tahu. Kalau dilihat sepintas, mungkin ada yang merasa, “Duh, kok anaknya dibiarkan main kotor-kotoran?” Tapi menurut saya, di situlah seni dari eksplorasi anak-anak: belajar dari hal-hal yang paling sederhana, tanpa sekat, tanpa ketakutan, tanpa harus merasa ‘terarah’.

Kalau kita perhatikan, anak-anak itu ibarat sponge. Segala yang ada di sekitar mereka menyerap habis-habisan. Makin dilarang, makin kuat hasrat mereka untuk mencoba. Kadang saya pikir, jangan-jangan mereka itu ahli uji coba sejati. Nggak pakai teori-teori berat, tapi ada keinginan kuat untuk tahu: apa jadinya kalau gumpalan tanah ini dilempar ke tembok? Apa bedanya serangga yang jalan ke kiri atau ke kanan?

Eksplorasi yang dilakukan anak-anak memang sering bikin orang tua merasa tak nyaman atau ‘takut’ berlebihan. Padahal, di situlah anak-anak menemukan jawaban atas rasa penasaran mereka sendiri. Mereka belajar bukan cuma lewat “iya” atau “tidak”, tapi dengan “bagaimana kalau?” Eksplorasi ini memberi mereka kemampuan untuk berpikir kreatif dan menemukan solusi sendiri—keterampilan hidup yang nggak bisa diajarkan hanya lewat buku.

Lalu ada momen menarik, ketika orang dewasa ikut menonton eksplorasi ini dengan pikiran terbuka. Bukan untuk langsung memberi batasan, tapi untuk membimbing saat perlu dan memberi kesempatan bagi si anak untuk mengembangkan imajinasi. Jadi, apakah mereka perlu dibiarkan saja? Tidak juga. Di sinilah peran kita hadir dengan santai—menyediakan ruang aman, bukan larangan.

Eksplorasi anak ini sebetulnya menjadi ajang latihan buat kita juga. Bisakah kita, sebagai orang dewasa, menghargai proses mereka tanpa harus terpaku pada hasilnya? Sesuatu yang mungkin kelihatan nggak penting atau sepele di mata kita, bisa jadi adalah dunia yang besar dan kompleks bagi si anak.

Jadi, bagaimana kalau kita izinkan anak-anak ini untuk mengembangkan imajinasi mereka? Kadang-kadang, satu-satunya hal yang perlu kita lakukan adalah berhenti mengatur dan biarkan mereka menemukan pelajaran hidup dari apa yang mereka lakukan. Toh, seperti kita dulu, mereka akan belajar dari kesalahan, dari kotor, dari air mata—dan semua itu tak ternilai harganya.

Sip, semoga pandangan ini nggak cuma jadi wacana, tapi jadi bahan kita sama-sama belajar dari cara pandang anak-anak. Karena siapa tahu, di tengah kesederhanaan eksplorasi mereka, kita juga belajar untuk menjadi lebih manusiawi, lebih sabar, dan lebih menghargai proses.