IMAJINASI anak itu, bisa dibilang, kayak “sumber energi kreatif” yang tak terbatas. Mereka bisa mengubah kotak kardus jadi kapal luar angkasa, sapu jadi pedang ajaib, dan semak-semak di halaman jadi hutan belantara penuh petualangan. Imajinasi mereka begitu hidup dan liar — mungkin malah lebih besar daripada kenyataan yang kita, orang dewasa, sering kali anggap biasa-biasa saja.
Di mata seorang anak, dunia ini penuh dengan kemungkinan tak terbatas, dan kalau kita dekati dengan cara yang tepat, kita justru bisa belajar banyak dari mereka. Pendekatan yang paling cocok untuk dunia imajinatif ini sebenarnya sederhana: biarkan mereka bebas, tapi tetap berikan sedikit arahan. Jangan terlalu banyak larangan, tapi juga jangan sepenuhnya lepas tangan.
Anak-anak sering bermain dengan cerita yang mereka buat sendiri. Dalam permainan mereka, dinosaurus bisa jadi teman baik, mobil-mobil bisa ngomong, atau boneka punya kehidupan rahasia saat malam. Nah, di sini kita sebagai orang dewasa justru perlu menahan diri. Jangan buru-buru bilang, “Dinosaurus itu udah punah” atau “Mana ada mobil bisa ngomong.” Kalau kita malah ikut main dan masuk ke cerita mereka, anak merasa dihargai. Kita nggak cuma jadi saksi, tapi juga bagian dari petualangan mereka.
Kalau anak cerita sesuatu yang “di luar nalar” menurut kita, coba dengarkan dengan serius, lalu tanggapi. Misalnya, kalau anak bilang mereka punya “teman tak terlihat” bernama Gembul yang suka makan banyak, tanya saja, “Wah, Gembul suka makan apa, ya?” Respons sederhana kayak gini bikin anak merasa bahwa imajinasi mereka diterima. Dan, dari situlah, anak-anak belajar bahwa berpikir berbeda itu tidak salah, malah mungkin sangat keren.
Imajinasi anak itu butuh ruang, dalam arti harfiah maupun kiasan. Kasih waktu buat mereka bermain bebas tanpa interupsi, baik itu di rumah atau di luar. Tempat yang aman tapi penuh hal-hal yang bisa dijelajahi bikin mereka merasa bisa menciptakan apa saja. Misalnya, waktu main di taman, biarkan mereka menemukan “harta karun” berupa batu atau daun, atau mengumpulkan ranting untuk bikin “istana.” Lingkungan yang bebas begitu nggak hanya melatih kreativitas, tapi juga rasa percaya diri mereka.
Misalnya, kalau anak menggambar kucing berwarna hijau atau rumah berbentuk seperti telur, biarkan saja. Jangan buru-buru bilang, “Ah, kucing tuh warnanya nggak hijau,” karena warna hijau bagi mereka mungkin saja simbol dari “kucing hutan yang keren.” Hargai hasil karya mereka, berikan pujian tulus, dan ajak bicara tentang makna di balik gambar atau cerita itu. Cara ini membuat mereka merasa bahwa dunia imajinatif yang mereka ciptakan tidak salah dan sah-sah saja.
Anak-anak punya rasa penasaran yang nggak pernah habis. Dalam pikiran mereka, selalu ada pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana.” Nah, kalau kita bisa ikutan penasaran, anak bakal merasa dapat teman yang benar-benar nyambung. Misalnya, kalau mereka lagi bikin “robot” dari balok-balok mainan, tanyakan dengan antusias, “Robot ini bisa ngapain aja, ya?” Pertanyaan kayak gini bikin anak merasa bahwa apa yang mereka bayangkan ternyata layak untuk dipikirkan bersama.
Terakhir, saat anak-anak bertumbuh, ajarkan mereka bahwa imajinasi itu bukan sekadar “angan-angan,” tapi bisa jadi langkah pertama dari ide-ide besar. Contoh kecil, kalau mereka suka menggambar pemandangan, ajak mereka lihat lukisan pemandangan asli di museum atau ajak mereka jalan-jalan ke alam. Kalau mereka suka berkhayal tentang dunia hewan, kasih mereka buku tentang satwa liar. Dari sini mereka akan belajar bahwa imajinasi itu bisa berkembang menjadi hobi atau bahkan keterampilan.
Pada akhirnya, kalau kita bisa menghargai imajinasi anak-anak tanpa membatasi atau membongkar ide-ide mereka, mereka akan tumbuh jadi individu yang percaya diri, kreatif, dan siap berpikir “di luar kotak”. Kita nggak cuma membesarkan anak, tapi juga membuka dunia yang luas bagi mereka. Pendekatan santai yang penuh penerimaan ini bisa bikin mereka merasa bahwa ide-ide mereka berarti, bahwa khayalan mereka penting, dan bahwa dunia ini tak terbatas, sama seperti imajinasi mereka.