Ditulis oleh Raden Siska Marini, yang baru saja jadi rakyat PMII Banten
Setelah melewati hari-hari yang padat dan penuh aroma adrenalin organisatoris sebagai Panitia Pelaksana Koonkorcab PKC PMII Banten, akhirnya saya dinyatakan demisioner dari jabatan struktural. Hari ini saya bangun bukan sebagai pengurus, bukan pula sebagai pembaca draft keputusan forum, tapi sebagai rakyat jelata—yang (katanya) merdeka dari hiruk-pikuk organisasi.
Beberapa hari terakhir saya memang nyaris hidup dengan ritme “tidur itu opsi”, lalu ceritanya hari ini saya niatkan tidur panjang sebagai bentuk balas dendam. Tapi sialnya, begitu bangun malah disambut sakit kepala. Mungkin ini yang dinamakan post-power syndrome dalam versi kaderisasi. Tubuh sedang belajar beradaptasi kembali, dari ruang-ruang VVIP rapat ke ruang sunyi yang diisi notifikasi WhatsApp alumni: “Selamat ya, sukses selalu”.
Dua Pilot Baru, Satu Organisasi Lama
Kini PKC PMII Banten punya dua pilot baru yang siap menerbangkan organisasi ke langit yang lebih tinggi (semoga tidak lupa membawa parasut cadangan): Sahabat Winah Setiawati sebagai Ketua PKC dan Sahabati Novi Oktaviani sebagai Ketua KOPRI. Menariknya, keduanya perempuan. Akhirnya, organisasi ini sukses membuktikan bahwa glass ceiling itu bukan atap beton. Dan kita semua berharap, ini bukan sekadar “gimmick struktural”, tapi betul-betul lompatan kultural.
Namun begini, kepemimpinan perempuan bukan berarti PKC akan penuh warna pastel, lembut, dan penuh bunga. Justru kita berharap pada pendekatan kepemimpinan transformasional seperti yang digagas oleh James MacGregor Burns—di mana pemimpin bukan sekadar pengatur, tapi penginspirasi; bukan penguasa, tapi penggerak nilai. Tantangannya, tentu saja, adalah menjadikan kepemimpinan ini sebagai praktik kolektif, bukan sekadar pencapaian kosmetik.
April dan Agenda Refleksi
April memang bulan yang sakral bagi PMII. Ia tidak hanya menjadi penanda ulang tahun organisasi, tetapi juga waktu yang cocok untuk bercermin. Refleksi, kata Paulo Freire, adalah elemen utama dalam proses pembebasan. Tanpa refleksi, kaderisasi hanya akan menjadi rutinitas kosong. Dan tanpa pembebasan, kita hanya akan sibuk mempercantik struktur tanpa menyentuh substansi.
PKC PMII Banten sebagai wilayah administratif yang berdekatan dengan pusat kekuasaan nasional, seharusnya memiliki keunggulan strategis. Tapi nyatanya, sering kali kita gagap menghadapi tantangan organisasi modern. Gagap dalam membaca konteks, gagap dalam mendistribusikan potensi kader, bahkan kadang gagap membedakan antara forum kaderisasi dan ruang kontestasi personal. Kita terlalu sering terjebak berebut naik sekoci kecil, saling dorong dan sindir, sementara kapal pesiar besar bernama “organisasi” justru kita tinggalkan di pelabuhan. Ini fenomena klasik dari zero-sum mindset, di mana kemenangan satu pihak dianggap otomatis sebagai kekalahan pihak lain.
Padahal esensi organisasi adalah tumbuh bersama. Seperti pepatah lama, “kalau ingin cepat, jalan sendiri; kalau ingin jauh, jalan bersama.” Dan PMII, dari awalnya, bukan dibangun untuk melahirkan juara satu orang, tapi juara-juara dalam banyak medan.
Kebutuhan Kaderisasi yang Tidak Seragam
PKC PMII Banten memiliki tujuh cabang. Jumlah ini mungkin tak besar, tapi kompleksitasnya tidak bisa dianggap remeh. Ada cabang yang tumbuh di wilayah industri, dengan karakter kader yang dinamis, aktif di dunia kerja dan digital. Di sini, kaderisasi tidak bisa hanya mengandalkan metode konvensional. Pola hybrid harus dikembangkan—menggabungkan pembelajaran daring dan luring—agar kader bisa tetap terkoneksi tanpa kehilangan kedalaman nilai.
Sebaliknya, ada pula cabang yang tumbuh di wilayah dengan basis sosial keagamaan yang kuat—bukan hanya dalam aspek spiritualitas, tapi dalam kultur tradisional yang khas. Namun tantangan di sini seringkali bukan semangat, melainkan akses dan literasi teknologi yang masih terbatas. Maka perlu pendekatan yang kontekstual dan berbasis fasilitasi. Salah satunya dengan menghadirkan pelatihan teknologi sederhana berbasis kebutuhan kader lokal, seperti pengelolaan media digital, manajemen organisasi berbasis aplikasi ringan, hingga pemanfaatan platform sosial untuk kampanye nilai.
Kaderisasi bukan produk yang bisa digandakan massal, tapi harus dipersonalisasi. Ini sejalan dengan teori differentiated learning, di mana setiap peserta (dalam konteks kita: kader) memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda.
PMII Banten dan Pekerjaan Rumah Besar
Tugas PKC ke depan bukan hanya soal melanjutkan program. Tapi juga mendesain ulang sistem kaderisasi yang adaptif, interseksional, dan tahan uji zaman. Kita tidak boleh alergi terhadap pembaruan, namun juga jangan terlalu euforia pada yang serba digital. Intinya: relevan tanpa kehilangan ruh.
Kita juga harus memperkuat kesadaran kolektif bahwa kaderisasi bukan jalan menuju tahta, melainkan proses panjang menumbuhkan kesadaran. Seperti kata Antonio Gramsci, perjuangan intelektual dan kultural jauh lebih penting daripada sekadar perebutan struktur.
Dan bagi saya, sebagai demisioner, perjalanan ini belum usai. Kini saya kembali menjadi “rakyat”, tapi bukan berarti peran serta saya selesai. Karena dalam organisasi kader, kontribusi bukan ditentukan oleh jabatan, melainkan oleh keberlanjutan nilai yang kita bawa dalam setiap ruang hidup kita.
Akhir kata, mari kita akhiri romantisme terhadap struktur dan mulai merayakan peran—apa pun bentuknya. Karena PMII tidak dibangun oleh satu atau dua orang, melainkan oleh kita semua yang memilih untuk terus berjalan meski sudah tidak lagi duduk di barisan depan.